[rate 3]
Satu hal yang langsung terasa sangat mengganggu ketika menonton film Gie adalah soal tata suaranya. Musik latar, penuturan Soe Hoek Gie (lewat Nicholas Saputra), dan dialog tokoh lain seringkali saling tumpang tindih membuat kenyamanan menonton jadi terganggu. Belum lagi pada adegan tertentu, nada-nada tinggi dari denting piano yang menjadi backsound film garapan Riri Riza itu membuat kuping menjadi rada sakit 🙁
Semua itu masih ditambah dengan jeleknya kualitas sound system dan pergantian rol film dari studio 5-nya Galaxy 21 (di mana film ini diputar) yang sering tidak berjalan mulus. Semakin lengkaplah ketidaknyamanan menonton pada malam itu 🙁
Sementara soal gaya bertutur karakter utama yang mendominasi sepanjang film ini membuat teringat pada film Janji Joni di mana adegan-adegan film itu juga penuh dengan latar suara sang tokoh utama yang kebetulan diperankan juga oleh Nicholas. Serasa deja vu deh!
Nampaknya Nicholas berusaha berakting sebaik mungkin menjadi Gie yang lepas dari karakter dalam film yang melejitkannya. Penampilannya kali ini sebagai sosok Soe Hok Gie yang tenang, kritis, tajam, lurus, dan sedikit lugu cukup pas. Gaya jalannya juga terlihat khas. Meskipun demikian, tetap saja perannya kali ini mengingatkan pada karakter tokoh Rangga dalam film Ada apa dengan Cinta? (2002). Deja vu lagi? Ternyata memang ada kaitannya, meskipun tidak langsung. “Untuk keperluan karakter Rangga, buku Catatan Seorang Demonstran (kumpulan catatan harian Soe Hok Gie) menjadi salah satu buku bacaan wajib bagi Nicholas Saputra–pemeran Rangga”. Demikian cuplikan dari artikel “Catatan Produksi” yang termuat di situs web film Gie.
Dimulai dari masa kecil Gie, alur cerita film ini berjalan lambat, terlalu bertele-tele mengusung adegan-adegan yang gak penting dan kurang jelas maksudnya. Contohnya pada adegan ayah (Robby Tumewu) dan ibunya (Tutie Kirana) yang sedang bertengkar di pinggir jalan, tidak jelas permasalahannya apa. Yah, setidaknya pada bagian ini kita bisa sedikit tahu bagaimana masa kecil Gie, termasuk bagaimana teguhnya ia terhadap pendiriannya dalam menghadapi guru ‘kurang cerdas’ di sekolahnya…
Dari situ meloncatlah alur film ini ke bagian yang memakan porsi terbesar dalam film ini: Gie dan dunia kampus. Di sini dia bertemu teman-teman yang punya pemikiran yang sama dengan dia. Di masa kuliah ini juga seorang gadis bernama Ira (Sita Nursanti RSD) berhasil memikat hatinya. Penolakan halus dari gadis aktivis kampus itu membuatnya sempat berpaling ke Sinta (Wulan Guritno), yang hanya sempat pacaran sebentar. Walau begitu, di dalam hatinya masih tersimpan cinta untuk Ira yang terbawa hingga meninggal.
Meskipun menolak tawaran bergabung dengan salah satu organisasi keagamaan mahasiswa berbau politik, aktivitas Gie di lingkungan kampus dalam menentang rezim Orde Lama membawanya bersinggungan dengan lingkaran politik di luar kampus yang lebih luas, termasuk intrik-intriknya. Tumbangnya rezim Orde Lama dan munculnya rezim Orde Baru tidak membuatnya berhenti untuk mengamati dan mengkritisi pemerintah. Tapi rupanya pejabat di rezim baru tidak suka dikritik, meskipun dulu mendukung kritikan Gie terhadap rezim lama. Dan Gie pun mendapat tekanan dan ancaman dari sana-sini.
Jadilah Gie sebagai film politik dari sudut pandang seorang aktivis yang dibungkus dengan perjalanan hidup sang aktivis sebagai pemanisnya. Akibatnya, film ini menjadi agak membosankan bagi yang bukan penikmat film berbau politik dan sejenisnya.
Untunglah lagu-lagu dan setting film ini enak dinikmati. Suasana kuno tahun 1960an cukup berhasil ditampilkan lengkap dengan berbagai propertinya. Namun untuk urusan penggunaan ejaan lama pada masa itu, nampaknya masih ada yang terlewatkan. Salah satunya bisa ditemui pada pengumuman pencarian calon ketua senat Fakultas Sastra yang tertempel di mading kampus…
Bagaimana dengan ending film ini? Mungkin sudah banyak yang tahu dengan kejadian yang menimpa Gie ketika mendaki Gunung Semeru, itulah penutupnya. Namun sayangnya dalam film ini hanya diwakili dengan pembacaan surat terakhirnya Gie oleh Ira yang tadinya dititipkan kepada Denny (Indra Birowo). Rasanya terlalu melankolis.
Oh ya, hal lain yang rada mengganggu dari film ini adalah simbol-simbol agama tertentu yang muncul berkali-kali dalam film ini, baik yang terlihat maupun terdengar. Mengingat ini bukan film soal agama dan tokoh Gie sendiri yang menentang pengkotakan berdasarkan agama dan ras, jadinya hal itu terkesan agak dipaksakan. Entah apa maksudnya. Bagian dari politik? Ah, dasar film politik!
Wah kok gt sihhhhhh GIE-nya!
yaahh, setidaknya film Gie sudah memberi sedikit ‘cahaya’ untuk dunia perfilman kita jadi lebih dewasa. Ambil yang baik sebagai pelajaran. Just enjoy it !
ya sutralah…yang penting sutradara ma produsernya berani untuk membuat sesuatu yang baru, apapun hasilnya semoga akan lahir gie yang berikutnya…!!!