[rate 1.0]
Kembali penonton Indonesia mendapat kesempatan pertama menonton film Hollywood terbaru. Lebih duluan satu hari ketimbang jadwal rilis internasional, Miami Vice sudah diputar di bioskop di Indonesia mulai 27 Juli 2006 kemarin. Dengan ‘kesempatan’ yang tidak dimiliki oleh setiap film asing yang masuk ke Indonesia, seharusnya film adaptasi dari serial tv tahun 80an itu menjanjikan sesuatu yang menarik. Setidaknya lebih baik dari versi televisinya. Namun, tampaknya tidak demikian.
Setelah 135 menit berlalu tetap saja masih sulit menemukan apa yang bisa diandalkan dari film besutan Michael Mann ini selain ‘merek’ Miami Vice dan Michael Mann sendiri. Nostalgia? Lupakan saja. Karakter dua detektif yang bergaya glamour dan flamboyan yang selama ini identik dengan Don Johnson dan Philip Michael Thomas agak susah ditemui pada penampilan Colin Farrel dan Jamie Foxx yang berperan sebagai James “Sonny” Crockett dan Ricardo “Rico” Tubbs. Sudah gitu, sebagai Sonny, Colin terlihat gendut dan tanpa jas putih ‘kebangsaan’ pula. Padahal di serial tv-nya, sosok yang biasanya terlihat lebih ‘berisi’ itu justru Rico, bukan Sonny. Mungkin jika kedua peran itu diberikan kepada Ben Affleck dan Denzel Washington, film ini masih bisa hadir lebih menarik. Nama James Denton (pemeran Mike Delfino di Desperate Housewives) bisa jadi alternatif lain untuk memerankan karakter Sonny.
Dari segi cerita, tidak ada ide baru yang diusung film keluaran Universal Studios ini. Masih seputar peredaran kokain dan senjata ilegal, kali ini Rico dan Sonny harus menyusup ke dalam sebuah organisasi pengedar ilegal kedua barang itu dengan cara menawarkan jasa pengangkutan. Organisasi itu juga dicurigai terlibat 3 kasus pembunuhan. Sembari memupuk kepercayaan, Sonny mendekati Isabella (Gong Li) yang menjadi tangan kanan sekaligus kekasih pemimpin organisasi itu, Arcangel de Jesus Montoya (Luis Tosar). Proses penyusupan hingga aksi tembak-tembakan berlangsung datar-datar saja tanpa ada terobosan yang mengesankan. Alur cerita berjalan lambat, agak bertele-tele, dan membosankan. Itu semua masih ditambah dengan pemilihan komposisi dan sudut-sudut pengambilan gambar yang terasa kurang nyaman dinikmati.
Hal lain yang tidak kalah mengganggu adalah ilustrasi musik sepanjang film yang sering tidak nyambung dengan adegan yang sedang berlangsung. Dan yang bikin lebih heran adalah tidak diajaknya Jan Hammer, komposer yang menangani musik di serial tv-nya. Yang muncul malah lagu Numb-nya Linkin Park.
Jadi, apa yang bisa dijadikan alasan kuat untuk merekomendasi film ini? Hmm, ada usul?